Kamis, November 22, 2007

Antara Landak, Belalang, Gangsir, Laron dan Tawon

Puas bermain air di selokan kecil Kemuning, perut kami mulai berteriak minta diisi. Ara sudah mulai memainkan jempol tangan kirinya. Sebentar masuk mulut, sebentar masuk hidung, sebentar masuk telinga. Biasanya, itu tanda dia mulai lapar. Lapar nasi maksudnya. Kalaupun kita berikan camilan atau susu, pasti dia akan menggelengkan kepalanya. Semangkuk bubur Manado berwarna hijau tua, dalam sekejap dihabiskannya. Sementara yang tua-tua mengganjal perut dengan seiris besar brownies putih telur non kolesterol dan sebotol air mineral. Wuah.... lumayan lah...

Sampai di pertigaan ruas Sala-Tawangmangu, kami dihadapkan pada dua pilihan. Turun, dan makan ikan bakar di restoran yang tadi sempat kami lihat ramai pengunjung. Atau naik, menuju Tawangmangu dengan pilihan Pecel Yu Gi, Sate Kelinci, atau Sate Landak. Akhirnya kesepakatan ber empat (soalnya Ara ikut ngangguk...) kami pilih makan Sate Landak.

Warung Sate Landak di Tawangmangu ini letaknya tidak jauh dari jalan utama. Sebuah jalan alternatif menuju ke Matesih tempat bu Tien Suharto dimakamkan. Jika kita dari arah Sala, pas tikungan menuju pasar ada belokan kekanan. Kira-kira 2 km dari pertigaan itulah berdiri Sate Landak yang terkenal itu.

Sebelumnya kami pernah makan di tempat itu. Jadi kami sudah tidak terlalu bingung lagi dengan menu-menu yang disajikan. Sate, Tongseng dan Rica-rica Landak. Kelelawar goreng dan rica-rica tupai. He...he...

Kejam sekali dikau, manusia. Tapi menurut pemilik warung, semua yang disajikan itu adalah hewan-hewan yang menjadi musuh bagi pemilik perkebunan disitu. Jadi diburu karena menganggu hasil panen mereka.

Daging Landak warnanya cenderung pucat. Tidak semerah daging sapi dan kambing tapi juga berbeda dengan daging unggas. Rasanya lebih mirip daging merah. Efek yang dihasilkan, sedikit menghangatkan badan seperti daging kambing. Tetapi tidak sekejam efek daging kambing. Di warung itu, daging landak dimasak menjadi sate dengan bumbu kacang dan kecap. Bisa juga dimasak menjadi tongseng, semacam gule dengan irisan bawang-merah, bawang putih dan cabai rawit. Menu favorit yang lain adalah rica-rica tulang landak.

Datang pada jam setelah makan siang, ternyata lebih enak buat kami. Karena tidak perlu menunggu terlalu lama. Cuma ada beberapa menu yang tidak bisa kami pesan karena sudah kehabisan stok. Untuk menu tupai, rasanya membayangkan si imut dan lucu itu digoreng (meskipun mereka juga hama bagi tanaman kelapa dan buah lain) membuat kami tidak mampu menghadirkannya di meja makan.

Pengalaman makan landak, adalah pengalaman kesekian kalinya buat saya memakan makanan yang tidak biasa. Tapi tidak buat bapaknya Ara. Belalang, Gangsir, Laron dan Tawon adalah makanan lain yang pernah saya cicipi.

Laron adalah serangga kecil bersayap, yang hanya keluar ketika cuaca dingin setelah diguyur hujan. Serangga ini berterbangan di udara pada pagi hari setelah malamnya bumi puas diguyur hujan lebat. Ketika mbah buyut Ara masih "sugeng" (baca : ada dan sehat), kami sering mengumpulkan laron-laron ini dalam toples. Berebut dengan burung, ayam, kodok. Berlari menembus kabut pagi, sambil melompat-lompat menangkap laron yang berterbangan. Suasananya khas sekali, karena para anak-anak berlarian mencari laron, para orang tua ngobrol sambil ngopi atau ngeteh.

Kalau sudah cukup banyak laron yang terkumpul di stoples, kami serahkan hasilnya pada mbah untuk dibumbui dan digoreng. Meskipun kami -para cucu- yang menangkap, kami tidak pernah melihat proses selanjutnya. Geli saja melihat laron itu ditaruh di tampah, ditampi supaya sayapnya luruh, kemudian digoreng dan dibumbu garam. Itu cerita yang saya dapat dari Eyangnya Ara. Tapi kalau sudah matang, uenakkkkkkk sekali untuk sarapan dengan nasi hangat. Saya ingin menghadirkannya untuk sarapan Ara, tapi ibu sudah tidak mau memasakkan lagi sementara saya tidak bisa dan tidak tega. Ibu bilang, beliau mau menggoreng laron, karena bapak suka. Dan berharap kesukaan bapak itu tidak menurun pada saya. Sayangnya keinginan ibu yang satu ini tidak terlaksana. Saya tetap memimpikan suatu saat masih diberi kesempatan sarapan dengan nasi hangat bertabur laron. Meskipun mungkin ketika keinginan itu terlaksana, saya sudah tidak mampu menelannya.

Lain lagi dengan gangsir. Saya sudah lupa seperti apa bentuk spesifik gangsir. Karena semakin diingat, yang teringat malah "orong-orong" yang punya capit dikakinya. Kata ibu, dulu gangsir banyak dijual di pasar Demangan Jogja. Orang Jawa bilang, direnteng, jadi sayapnya ditusuk dengan serutan bambu panjang, menghasilkan untaian yang panjang pula. Ibu -Eyangnya Ara- tidak pernah mau memasak gangsir, karena teringat mata-mata bening di untaian itu yang memandang calon pembelinya dengan memelas. Tapi saya selalu punya cara untuk merasakan gangsir yang gurih. Jika sedang berkunjung kerumah Embah, saya dan kakak sepupu akan bergerilya mencari gangsir dengan menggali tanah, kemudian membakarnya. Rasanya.... gurih...

Laron dan Gangsir sudah. Nah, kalau Tawon atau lebah, itu biasanya adalah makanan yang dibawa sebagai oleh-oleh bapak ketika pulang dari proyeknya di Nawangan Wonogiri. Ketika itu bapak sebagai pelaksana proyek waduk Gajahmungkur dan beberapa waduk kecil disekitarnya. Sebagai orang proyek, bapak tahu persis makanan-makanan khas di sekitar tempat kerja. Didaerah itu banyak penjual bothok "tala". Tala adalah anak-anak tawon yang masih berupa larva (?). Sementara bothok adalah makanan khas jawa yang biasanya terbuat dari parutan kelapa setengah muda (lebih tua daripada yang untuk es) dibumbui dengan petai cina/petai, teri, kencur, bawang putih, gula jawa, dsb. Nah bothok "tala" adalah kolaborasi keduanya. Rasanya gurih-gurih nikmat. Tapi saat ini makanan tersebut sudah sulit sekali ditemui. Entah karena lebahnya makin galak dan tidak mau dimintai anaknya (siapa juga yang mau dimintai anak) atau orang-orang daerah tersebut sudah tidak menyukai masakan tersebut. Sepanjang pengamatan saya, setiap daerah punya cara untuk memenuhi kebutuhan proteinnya. Jadi mereka mengkonsumsi serangga-serangga atau hewan yang banyak terdapat didaerahnya. Ada daerah yang mengkonsumsi ulat jati, kelelawar, walang sangit, cacing (Papua), anjing (Sumatera Utara, Manado), dsb. Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat suatu daerah, bisa jadi mengakibatkan hilangnya kebiasaan untuk mengkonsumsi serangga dan beralih menjadi konsumen daging sapi, kambing atau ayam. Padahal itu juga salah satu cara untuk menyeimbangkan rantai kehidupan lho....

Belalang adalah serangga terakhir yang saya makan. Jauh sebelum televisi-televisi membuat reportase tentang serangga-serangga yang bisa dimakan, saya tertarik dengan belalang yang banyak dijual di sepanjang ruas jalan Gunung Kidul. Disana banyak penjual belalang menawarkan dagangannya dengan merenteng sejumlah belalang dalam satu ikatan bambu. Salah satu Asisten Rumah Tangga keluarga, merekomendasi untuk mencicipinya. Ditambah janji untuk memasakkan, akhirnya 10 belalang berpindah tangan. Sampai di rumah bude Jogja, belalang itu dicuci dan dibersihkan isi perutnya, kemudian dibumbui bawang putih dan garam. Setelah itu digoreng lengkap dengan kaki dan kepalanya. Semua isi rumah menggelengkan kepala melihat belalang yang biasa hinggap di daun, terhidang dengan sambal korek (bawang putih dan cabe diuleg dengan garam, kemudian diguyur minyak panas sedikit supaya matang). Tetap dengan semangat 45, saya masih ingin mencoba, meskipun dengan sedikit meringis melihat penampilannya yang tidak berubah menjadi "lauk-looking" or "looking lauk". Rasanya.... mmmmm....... jauh lebih enak laron menurut saya. Soalnya saya kesulitan dengan kakinya yang masih bergergaji, dan kepalanya yang masih lengkap dengan matanya.

Bagaimanapun juga, saya masih ingin merasakan makanan-makanan lain (yang diijinkan tentunya....) yang juga dimakan oleh saudara-saudara kita di pelosok nusantara lainnya. Contohnya Walang (Belalang) Sangit (Berbau busuk) yang diuleg mentah-mentah dengan bawang putih dan cabai rawit, masih menjadi obsesi saya.

Ara.... do u'r best. Think the best. Tapi sate landak dia juga ikut makan dua tusuk lho.....

Tidak ada komentar: